Minggu, 16 Juni 2013

KELUARGA BROKENHOME DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERKEMBANGAN ANAK



 ABSTRAK
Ikha Idfikhoda. Bimbingan dan Konseling
Masa remaja adalah masa transisi atau peralihan dalam kehidupan seorang individu, maka pada masa ini rentan pula segala yang terjadi dalam kehidupan individu dalam proses perkembangan pribadinya. Tidak terkecuali pula keadaan dalam lingkungan keluarganya, terutama apabila individu berada dalam lingkungan keluarga yang brokenhome.
Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk: (1) mengetahui tentang keluarga brokenhome (2) mengetahui faktor-faktor penyebab keluarga brokenhome (3) mengetahui dampak keluarga brokenhome terhadap perkembangan anak.
Pengaruh keadaan keluarga brokenhome terhadap perkembangan anak banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor. Relatif anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga brokenhome, mereka akan tumbuh menjadi individu yang memiliki kepribadian kurang sehat, kemudian dalam perkembangan emosi anak-anak yang berada dalam lingkungan keluarga brokenhome mereka cenderung  merasa tidak nyaman dan kurang bahagia. Kemudian hal tersebut juga akan berpengaruh pada perkembangan sosial remaja karena dari keluarga remaja menampilkan bagaiman cara bergaul dengan teman masyarakat.


                                                                                                  
Kata kunci: brokenhome, perkembangan anak.


 
PENDAHULUAN
Latar belakang
Sebagai makhluk sosial, mungkin tidak jarang ditemui seorang anak remaja yang frustasi atau depresi karena beragam masalah yang muncul dengan alasan, faktor utama adalah orang tua. Dalam kehidupan remaja, tak asing lagi dengan kata “Broken Home” atau keluarga yang tidak harmonis. Kata inilah yang biasanya menyelimuti rasa takut para remaja saat ini, ketika kedua orang tua mereka sedang berbeda pendapat atau berselisih paham. Maka remaja merupakan masa dimana seorang sedang mengalami saat kritis sebab ia akan menginjak ke masa dewasa.
Remaja juga disebut sebagai masa peralihan. Dalam masa peralihan itu pula remaja sedang mencari identitasnya. Dalam proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa membingungkan dirinya, remaja membutuhkan perhatian dan bantuan dari orang yang dicintai dan dekat dengannya terutama orang tua atau keluarganya. Seperti yang telah diketahui bahwa fungsi keluarga adalah memberi pengayoman sehingga menjamin rasa aman maka dalam masa kritisnya remaja sungguh-sungguh membutuhkan realisasi fungsi tersebut.
Tujuan
1.   Mengetahui tentang keluarga brokenhome.
2.   Mengetahui faktor-faktor penyebab keluarga brokenhome.
3.   Mengetahui dampak keluarga brokenhome terhadap perkembangan anak.
LANDASAN TEORI
Ulwan (2002) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan keluarga broken home adalah keluarga yang mengalami disharmonis antara ayah dan ibu. Pernyataan Ulwan ini dipertegas oleh Atriel (2008) yang mengatakan bahwa “broken home” merupakan suatu kondisi keluarga yang tidak harmonis dan orang tua tidak lagi dapat menjadi tauladan yang baik untuk anak-anaknya. Bisa jadi mereka bercerai, pisah ranjang atau keributan yang terus menerus terjadi dalam keluarga.
Kondisi keluarga yang tidak harmonis ini akan memberikan dampak yang negatif terhadap perilaku anak. Gerungan (2009) mengemukakan bahwa sebagian besar anak-anak delinkuensi berasal dari keluarga yang sudah tidak untuh strukturnya, 51.16% anak-anak delinkuensi berasal dari keluarga yang-karena suatu sebab- tidak utuh kembali (broken home).
Maka secara garis besar yang dimaksud broken home ialah keadaan di dalam keluarga dimana tidak terdapat keharmonisan sehingga timbul situasi yang tidak kondusif dan tidak terdapat rasa nyaman dalam sebuah keluarga.                     
PEMBAHASAN
Sebuah penelitian yang dilakukan di University of California, Los Angeles setelah mempelajari masalah dalam (kurang lebih) 2000 keluarga, membuktikan bahwa anak tetap menjadi korban ‘empuk’ dalam pertikaian rumah tangga.
Efek pertikaian ini, biasanya akan membuat anak cenderung melakukan hal-hal negatif diluar kebiasaannya. Ketidakstabilan emosi yang disebabkan, akan membuat anak mencoba menggunakan obat-obatan terlarang, mengonsumsi alkohol hingga melakukan seks bebas.
Untuk itu, berdasarkan observasi yang telah dilakukan selama 30 tahun, menyatakan bahwa kedua orangtua yang sudah tak lagi saling mencintai, sebaiknya jangan pernah hidup bersama dalam satu atap.
Hal ini hanya akan menyakiti hati dan mental sang anak. Seorang anak yang terus-menerus melihat pertengkaran orangtuanya, bisa menderita kelainan secara psikis dan gangguan perilaku, saat berhubungan dengan orang lain.
Profesor Kelly Musick, sekaligus penulis buku “Are Both Parents Always Better than One? Parental Conflict and Young Adult Well-Being”, mengungkap bahwa seorang anak yang terlahir dan besar dalam keluarga penuh konflik, cenderung menjadi bodoh secara akademis, dan tak sedikit juga yang akhirnya putus sekolah. Ironisnya, dalam usia belia, mereka sudah mencoba untuk merokok, minum alkohol dan melakukan penyimpangan secara seksual.
Faktor-Faktor Penyebab Keluarga Broken Home
1. Terjadinya perceraian
Faktor pertama adanya disorientasi tujuan suami istri dalam membangun mahligai rumah tangga, faktor kedewasaan yang mencakup intelektualitas, emosionalitas, dan kemampuan mengelola dan mengatasi berbagai masalah keluarga, pengaruh perubahan dan norma yang berkembang di masyarakat.
2. Ketidak dewasaan sikap orang tua
Ketidakdewasaan sikap orang tua salah satunya dilihat dari sikap egoisme dan egosentrime. Egoisme adalah suatu sifat buruk manusia yang mementingkan dirinya sendiri. Sedangkan egosentrisme adalah sikap yang menjadikan dirinya pusat perhatian yang diusahakan oleh seseorang dengan segala cara.
3. Orang tua yang kurang memiliki rasa tanggung jawab
Tidak bertanggungjawabnya orang tua salah satunya masalah kesibukan. Kesibukan adalah satu kata yang telah melekat pada masyarakat modern di kota-kota. Kesibukannya terfokus pada pencarian materi yaitu harta dan uang.
4. Jauh dari Tuhan
Segala sesuatu keburukan perilaku manusia disebabkan karena dia jauh dari Tuhan. Sebab Tuhan mengajarkan agar manusia berbuat baik. Jika keluarga jauh dari Tuhan dan mengutamakan materi dunia semata maka kehancuran dalam keluarga itu akan terjadi.
5. Adanya masalah ekonomi                                      
Dalam suatu keluarga mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Istri banyak menuntut hal-hal di luar makan dan minum. Padahal dengan penghasilan suami sebagai buruh lepas, hanya dapat memberi makan dan rumah petak tempat berlindung yang sewanya terjangkau.
6. Kehilangan kehangatan di dalam keluarga antara orang tua dan anak
Kurang atau putus komunikasi diantara anggota keluarga menyebabkan hilangnya kehangatan di dalam keluarga antara orang tua dan anak. Faktor kesibukan biasanya sering dianggap penyebab utama dari kurangnya komunikasi.
7. Adanya masalah pendidikan
Masalah pendidikan sering menjadi penyebab terjadinya broken home. Jika pendidikan agak lumayan pada suami istri maka wawasan tentang kehidupan keluarga dapat dipahami oleh mereka.
Dampak Keluarga Broken Home pada Perkembangan Anak
1. Perkembangan Emosi
Menurut Hather Sall (dalam Elida Prayitno 2006: 96) “Emosi merupakan situasi psikologi yang merupakan pengalaman subjektif yang dapat dilihat dari reaksi wajah dan tubuh”. Perceraian adalah suatu hal yang harus dihindarkan, agar emosi anak tidak menjadi terganggu. Perceraian adalah suatu penderitaan atau pengalaman traumatis bagi anak (Singgih,1995: 166).
Adapun dampak pandangan keluarga broken home terhadap perkembangan emosi remaja menurut Wilson Madeah (1993: 42) adalah: Perceraian orang tua membuat temperamen anak terpengaruh, pengaruh yang tampak secara jelas dalam perkembangan emosi itu membuat anak menjadi pemurung, pemalas (menjadi agresif) yang ingin mencari perhatian orang tua/orang lain. Mencari jati diri dalam suasana rumah tangga yang tumpang dan kurang serasi. Sedangkan menurut Hetherington (Save M. Degum 1999: 197) “Peristiwa perceraian itu menimbulkan ketidak stabilan emosi”.
Ketidak berartian pada diri remaja akan mudah timbul jika peristiwa perceraian dialami oleh kedua orang tuanya, sehingga dalam menjalani kehidupan remaja merasa bahwa dirinya adalah pihak yang tidak diharapkan dalam kehidupan ini. (Alex Sobur, 1985: 282). Remaja yang kebutuhannya kurang dipenuhi oleh orang tua emosi marahnya akan mudah terpancing. Seperti yang dikemukakan oleh Hurlock (didalam Elida Priyitno. 2006: 74) “Hubungan antara kedua orang tua yang kurang harmonis terabaikannya kebutuhan remaja akan menampakkan emosi marah”.
Jadi keluarga sangat berpengaruh pada perkembangan emosi remaja karena keluarga yang tidak harmonis menyebabkan dalam diri remaja merasa tidak nyaman dan kurang bahagia.
2. Perkembangan Sosial Remaja
Menurut Brim (dalam Elida Prayitno. 2006: 81) “Tingkah laku sosial kelompok yang memungkinkan seseorang berpartisipasi secara efektif dalam kelompok atau masyarakat. Dampak keluarga Broken Home terhadap perkembangan sosial remaja menurut Sunggih D Gunawan 1995: 108 adalah: Perceraian orang tua menyebabkan tumbuh pograan infenority terhadap kemampaun dan kedudukannya, dia merasa rendah diri menjadi takut untuk meluarkan pergaualannya dengan teman-teman.
Sedangkan Willson Nadeeh (1993: 42) menyatakan bahwa: Anak sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan. Anak yang dibesarkan dikeluarga pincang, cendrung sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan. kesulitan itu datang secara alamiah dari diri anak tersebut.
Dampak bagi remaja putri menurut Hethagton (dalam santrok 1996: 2000) menyatakan bahwa: Remaja putri yang tidak mempunyai ayah berperilaku dengan salah satu cara yang ekstrim terhadap laki-laki, mereka sangat menarik diri pasif dan minder kemungkinan yang kedua terlalu aktif, agresif dan genit.
Jadi keluarga broken home sangat berpengaruh pada perkembangan sosial remaja karena dari keluarga remaja menampilkan bagaimana cara bergaul dengan teman dan masyarakat.
3. Perkembangan Kepribadian
Perceraian ternyata memberikan dampak kurang baik terhadap perkembangan kepribadian remaja. Menurut Westima dan Haller (dalam Syamsyu Yusuf 2001: 99) yaitu bahwa remaja yang orang tuanya bercerai cenderung menunjukkan ciri-ciri :
a. Berpilaku nakal.
b. Mengalami depresi.
c. Melakukan hubungan seksual secara aktif.
d. Kecenderungan pada obat-obat terlarang.
Keadaan keluarga yang tidak harmonis tidak stabil atau berantakan (broken home) merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian remaja yang tidak sehat. Perilaku menyimpang pada diri remaja dapat terjadi oleh beberapa faktor, salah satunya menurut Mujiran Dkk (1999: 23) “Apabila ada satu atau lebih kebutuhan dasar manusia itu tidak terpenuhi maka akan terjadi prilaku menyimpang dan merugikan diri remaja itu sendiri maupun orang lain.
PENUTUP    
Simpulan
Sebuah penelitian yang dilakukan di University of California, Los Angeles setelah mempelajari masalah dalam (kurang lebih) 2000 keluarga, membuktikan bahwa anak tetap menjadi korban ‘empuk’ dalam pertikaian rumah tangga. Efek pertikaian ini, biasanya akan membuat anak cenderung melakukan hal-hal negatif diluar kebiasaannya.
Faktor-faktor penyebab keluarga broken home, antara lain: terjadinya perceraian, ketidakdewasaan sikap orang tua, orang tua yang kurang memiliki rasa tanggung jawab, jauh dari Tuhan, adanya masalah ekonomi, kehilangan kehangatan di dalam keluarga antara orang tua dan anak, adanya masalah pendidikan.
Dampak keluarga broken home pada perkembangan anak, yaitu:
1. Perkembangan Emosi, keluarga sangat berpengaruh pada perkembangan emosi remaja karena keluarga yang tidak harmonis menyebabkan dalam diri remaja merasa tidak nyaman dan kurang bahagia.
2. Perkembangan Sosial Remaja, keluarga broken home sangat berpengaruh pada perkembangan sosial remaja karena dari keluarga remaja menampilkan bagaimana cara bergaul dengan teman dan masyarakat.
3. Perkembangan Kepribadian, keadaan keluarga yang tidak harmonis tidak stabil atau berantakan (broken home) merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian remaja yang tidak sehat.     

   
DAFTAR PUSTAKA

KONSELING SEBAGAI SUATU SISTEM



Sistem merupakan kesatuan yang kompleks dan terorganisasi maupun sistem juga merupakan kumpulan terpadu elemen-elemen yang berinteraksi, yang dirancang untuk menjalankan fungsi yang telah ditentukan dengan baik. Sistem juga diartikan sebagai struktur atau organisasi suatu kesatuan yang secara jelas menunjukkan interelasi bagian-bagian, dengan satu sama lain dengan kesatuan itu sendiri.
Konseling sebagai suatu sistem adalah cara memandang unsur-unsur yang terdapat dalam proses konseling sebagai suatu sistem dengan mengkaji secara seksama dan mendalam hubungan antara unsur yang satu dengan yang lain dalam kaitannya dengan masalah konseli sehingga konselor akan dapat menetapkan alternative bantuan atau teknik konseling yang sesuai, dalam upaya membantu konseli mewujudkan bahwa dirinya sebagai individu yang memiliki pribadi yang mandiri.
Suatu sistem terdiri dari bagian-bagian yang saling mempengaruhi dan bekerja sama untuk mencapai tujuan. Komponen dasar sistem adalah masukan, proses, dan keluaran.
1.      Masukan merupakan komponen awal untuk pengorganisasian sebuah sistem.
2.      Proses merupakan kegiatan yang dapat mengubah masuka menjadi keluaran.
3.      Keluaran sebagai hasil dari suatu operasi.
Unsur-unsur yang memungkinkan sistem itu berfungsi dalam keseimbangan adalah kontrol dan umpan balik. Kontrol dan umpan balik merupakan komponen dasar dalam system seperti halnya masukan, proses, dan keluaran. Kontrol pada hakekatnya menjaga sistem agar bekerja dalam batas-batas pelaksanaan tertentu. Konseling yang disusun berdasarkan suatu sistem mengadakan penyesuaian atau peninjauan kembali kegiatan pemrosesannya, tetapi juga system itu meninjau kembali dan mengubah tolok ukurnya (baik berupa sasaran, target, tujuan maupun yang lainnya). Suatu sistem dikatakan baik apabila sanggup mempertahankan kondisi keseimbangan terhadap perubahan lingkungan.
Konseling dapat terlaksana dengan efektif dan efisien apabila semua unsur yang terlibat dalam proses konseling dipandang sebagai system. Variabel-variabel (komponen-komponen) sistem dalam konseling yaitu:
1.   Input
*      Raw input (siswa/individu)
*      Instrumental input (konselor, program, tahapan, dan sarana)
*      Environmental input (norma, tujuan, lingkungan sekolah)
2.   Proses atau Perantara
*      Relasi/interaksi
*      Perlakuan
*      Kontrak perilaku yang disepakati untuk dikuasai/diubah
*      Dinamika
3.   Output
*      Perubahan perilaku
*      Penguasaan tugas-tugas perkembangan
*      Keberfungsiannya dalam sistem

Di dalam sistem hubungan antara komponen satu dengan komponen lain dikaji secara khusus dan mendalam dalam kaitannya dengan tujuan yang ingin dicapai oleh individu yang dilayani. Proses konseling menyangkut menyangkut proses perilaku individu di dalam sistem, sehingga yang menjadi target intervensi konseling bukanlah individu yang terlepas dari system, melainkan individu di dalam sistem, sehingga kepedulian utama terletak pada interaksi individu dalam sistem.
Proses konseling pada dasarnya proses perubahan perilaku individu dalam sistem, dan kepedulian utamanya terletak pada interaksi individu dalam sistem. Individu dalam sistem mempunyai tujuan yang ingin dicapai melalui konseling. Tujuan yang ingin dicapai adalah perubahan perilaku pada diri individu, baik dalam bentuk pandangan, sikap, sifat maupun keterampilan yang lebih memungkinkan individu dapat menerima, mewujudkan diri, mengembangkan diri, mencegah dan mampu mengatasi permasalahan secarara optimal sebagai wujud dari individu yang memiliki pribadi mandiri.
Dalam proses konseling terdapat beberapa komponen yang harus dipandang sebagai suatu sistem. Maksudnya konselor harus berpikir secara sistematik dalam memperhatikan hubungan komponen-komponen yang terkait dengan kebutuhan yang dibawa oleh siswa/individu dalam konseling (individual/kelompok), baik yang terfokus pada pengembangan pribadi, pencegahan, dan pengatasan masalah. Dengan cara demikian memungkinkan konselor bekerja secara efektif dan efisien dalam membantu siswa melalui layanan konseling.
Siswa sebagai individu yang dilayani merupakan komponen dasar dalam sistem konseling, yang mengikat satu sama lain, tidak hanya membawa masalah, kebutuhan yang perlu dipecahkan dan dipebuhi, tetapi secara keseluruhan ia memiliki kualitas seperti:
ü  Kesehatan fisik
ü  Penampilan
ü  Sifat genetik
ü  Usia               
ü  Suku
ü  Bangsa
ü  Adat istiadat
ü  Jenis kelamin
ü  Status sosial-ekonomi
ü  Struktur motivasi
ü  Latar belakang lingkungan, dan lain-lain
Serangkaian nilai yang memberi warna dan sikap terhadap diri sendiri dan orang lain, sehingga individu menjadi seorang yang unik. Dengn demikian konselor (atau anggota lain dalam konseling kelompok) harus siap member respon terhadap keunikan-keunikan individu.
Konselor merupakan komponen dasar untuk pengoperasian sebuah sistem, yaitu sistem konseling. Konselor dalam proses konseling harus menguasai dan mengembangkan kemampuan (keterampilan) dan sikap yang memadahi untuk terselenggaranya proses kegiatan secara efektif. Konselor harus mampu mengembangkan hubungan antara konselor denag konseli atau anggota kelompok, dan antar anggota kelompok (dalam konseling kelompok) yang didasarkan pada kepercayaan, pengertian, dan rasa menghargai. Konselor harus memiliki kesadaran dan disiplin diri yang memungkinkan pengontrolan kebutuhan dan tingkah laku dirinya sendiri, sementara menjadi empati dan obyektif terhadap kebutuhan konseli.
Program sebagai komponen masukan instrumental dalam sistem konseling yaitu seperangkat kegiatan konseling yang dirancang secara terencana, terorganisasi, terkoordinasi selama periode waktu tertentu dan dilakukan secara berkaitan untuk mencapai tujuan. Kejelasan dan ketepatan penyusunan program memegang peranan penting dalam rangka keberhasilan pelaksanaan konseling di sekolah. Tujuan penyusunan program ialah agar kegiatan di sekolah dapat terlaksana dengan lancer, efektif, dan efisien, serta hasil-hasilnya dapat dievaluasi. Tersusun dan terlaksananya program konseling dengan baik akan menjamin pencapaian tujuan konseling pada khususnya dan tujuan sekolah pada umumnya. Pelaksanaan program konseling terfokus pada pengembangan pribadi, pencegahan, dan pengatasan masalah siswa yang berkaiatan dengan pribadi, sosial, belajar, karir.
Sarana merupakan seperangkat alat bantu untuk memperlancar proses konseling. Sarana sebagai perangkat alat bantu akan mempermudah konselor dan konseli sebagai personil sistem dalam mencapai tujuan. Sarana yang dimaksudkan dalam komponen instrumental system konseling, yaitu ruangan, tempat duduk dan perlengkapan administrasi lain untuk kegiatan konseling.
Tahapan sebagai komponen dalam sistem konseling yang digunakan oleh konselor sebagai personil sistem dalam pemrosesan masukan menjadi keluaran. Tahapan dalam konseling kelompok meliputi tahap permulaan, tahap peralihan, tahap kegiatan, dan tahap akhir. Tahapan dalam konseling individual meliputi tahap permulaan, tahap kegiatan, dan tahap akhir.
Norma adalah petunjuk yang harus dijalankan oleh konselor dan konseli sebelum, selama, dan sesudah kegiatan konseling. Norma konseling yang berupa ketentuan berkenaan dengan pengembangan suasana interaksi yang akrab, hangat permisif, terbuka, kerahasiaan.
Tujuan dirumuskan berdasarkan kebutuhan siswa, perkembangan siswa dan tuntutan lingkungan. Tujuan yang ditetapkan dalam konseling adalah target yang harus dipenuhi, motivator bagi konselor dan konseli, merupakan imbalan dari hasil usaha. Tujuan konseling merupakan kompas petunjuk arah kemana konseling harus menuju, dan apa yang ingin dicapai dari kegiatan konseling. Tujuan ialah kondisi yang diinginkan dalam sistem konseling setelah terjadi proses dari masukan menjadi keluaran.
Hakikat konseling terletak pada keterkaitan antara lingkungan belajar dengan perkembangan siswa, dan konselor berperan sebagai fasilitator.
Proses yang menyangkut jenis relasi/interaksi, perlakuan, dan kontrak perlakuan/perkembangan merupakan komponen inti dalam sistem konseling yang merubah masukan menjadi keluaran. Proses konseling mengacu pada konselor dan konseli yang bekerjasama atas dasar beberapa kebutuhan, masalah, dan atas dasar tujuan tertentu, dengan memanfaatkan program yang telah ditetapkan, norma yang disepakati, sarana yang tersedia, melalui tahapan permulaan, kegiatan, dan akhir. Proses konseling dimonitor dan dievaluasi sejak awal sampai akhir konseling, sehingga merupakan suatu proses berkelanjutan.
Hasil konseling merupakan hasil relasi/interaksi antara komponen sistem yang berlangsung dalam sistem konseling. Hasil konseling bisa positif dan bisa negative untuk setiap individu.
Komponen-komponen yang terkandung dalam konseling sebagai suatu sistem, harus baik dan terpadu, sebab dapat menunjang lancarnya pencapaian tujuan konseling secara optimal.

About this blog

Link Partners

Category

Sponsors

Labels

Blogger templates

Sponsor

Banner 468 x 60px

Link List

Diberdayakan oleh Blogger.

Category

Category

Popular Posts

Followers

Search This Blog

Popular Posts